Langsung ke konten utama

Waspadai Imagologi Cinta


 Oleh Muhsin Labib


Cinta telah menjadi salah satu tema yang paling banyak dibicarakan, ditulis, didiskusikan, disyairkan, didramakan dan difilemkan. Ribuan buku tentang cinta telah memenuhi rak-rak perspustakaan dunia, mulai dari tema-tema aksiologi Yunani, karya-karya klasik para spiritualis hingga novel-novel ternama dunia, seperti Romeo and Juliet, The House of The Spirit dan Dracula-nya Bram Stokers.

Cinta adalah masalah yang lekang oleh waktu. Ada yang percaya padanya, dan ada pula yang menganggapnya sebagai fatamorgana.. Ada yang menyanjungnya, tapi tidak sedikit orang yang membencinya. Ada yang tergelak berderai tawa karenanya, ada juga yang kehilangan asa atau bahkan menjadi gila karenanya. Benar-benar dahsyat. Cinta telah diperlakukan sebagai sebuah organisme dan entitas biologis, sehingga dibenci atau disanjung.

Apa cinta itu? Mungkin hanya selain pecinta sejati yang berani menjawabnya. Kata Ibnu ‘Arabi, sufi besar yang meyakini cinta sebagai agama dan imannya, “Jka seorang mengaku bisa mendefinisikan cinta, jelaslah, ia masih belum mengenalnya. Siapa pun mendefinisikan cinta, pasti belum mengenalnya. Siapa pun belum pernah merasakan seteguk saja air cinta, belum pernah mengenalnya. Siapa pun yang merasa kenyang karena meneggak air cinta, maka ia hanyalah orang yang menghibur diri. Ketahuilah, cinta adalah minuman yang tak pernah memuaskan pecandunya.” Cinta laksana wujud, bahkan ia adalah wujud itu sendiri. Ia sangat gamblang, meski hakikatnya tersimpan di balik tirai misteri.

Mengapa cinta itu misterius? Cinta bukanlah esensi dan kategori yang dapat diuraikan sebagai produk dari komposisi genus dan diferensia. Ia adalah frase hanya bisa diperlakukan sebagai sebuah terma ontologis dan eksistensial. Cinta hanya dapat dihayati, namun tak dapat disifati. Setiap orang mampu merasakan cinta, namun mustahil menyifati atau mendefinisikannya.

Ada pula yang berusaha menjelaskan hakikat cinta dengan cara membaginya menjadi dua; cinta ilahi dan cinta insani. Dalam setiap hembusan nafas kita, dalam setiap sel darah kita, dalam setiap unsur-unsur yang terkandung dalam butiran tanah, terdapat cinta Ilahi yang acapakali tidak kita sadari. Dengan rahman-Nya, Allah telah menampakkan indahnya pelangi lewat kedua mata kita; dengan kasihNya yang tiada batas, memperdengarkan merdunya gemercik air. Cinta kedua adalah cinta insani. Pada dasarnya, cinta ini juga timbul dari cinta Ilahi. Para sufi membaginya menjadi dua; cinta natural dan cinta mistikal. Cinta natural adalah cinta bersyarat, seperti cinta kita pada seorang sahabat karena ia bersikap baik terhadap kita. Sedang cinta mistikal tidak bersyarat. Ia cukup mencintai tapi tak butuh dicinta. Cinta ini laksana cinta ibu yang rela tidak tidur semalaman demi menemani anaknya yang sakit. Seorang ibu tak butuh balasan apakah kelak si anak membalas jerih payahnya atau tidak.

Besarkah pengaruh cinta? Demi cinta, subjek rela meniadakan dirinya sembari menganggapnya sebagai puncak kesempurnaannya. Laron yang mati akibat tersengat api lampu yang dipujanya. Semut ternggelam dan terbenam dalam gula yang dicintainya. Bagi sebagian orang, cinta lebih dari sekedar bernyawa. Karena itulah, mereka mengutamakannya atas kehidupan.

Ia tidak bisa didekati dengan epistemologi. Ia bukanlah terma esensial yang dapat diuraikan kandungannya. Ia tidak berada dalam negara ‘definisi’, karena definisi hanya untuk menjalskan sesuatu yang tidak jelas. Ia tidak terpasung oleh partikularia dan universalia. Kata Ibn al-Qayyim, “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas. Cinta adalah cinta itu sendiri.” Bukankah memperjelaskan suatu yang sangat jelas berarti mengaburkannya. Seorang penyair berpuisi:

Setiap perkataanku bicara tentang cinta

Tatkala mendatanginya, daku tersipu malu

Bahasa mulut memang bisa menerangkan

Tapi cinta lebih terang tanpa kata-kata

Cinta tak dapat dikenali lewat terma maupun forma sempurna logika (al-had wa al-rasm al-mantiqi). Hakikat sesuatu hanya dapat diungkap dengan definisi. Definisi menjadi komprehensif (jami’ wa mani’) bila memuat genus (jins) dan difffrentia (fashl). Bila elemen genus dan differentia dalam cinta tidak ditemukan, maka pendefiniannya pun menjadi sulit.

Cinta hanya bisa dipahami lewat pengalaman personal. Namun hakikatnya mustahil direngkuh hanya dengan sekali percobaan. Manusia tak mungkin mengarungi dan menggapai cinta sejati, karena cinta merupakan jalan tak berujung. Cinta tak pernah memuaskan pencandu yang selalu dicekik dahaga.

Para sufi menganggap Allah sebagai kekasih hakiki para pecinta sejati, kekasih-kekasih selain-Nya adalah jelmaan dari tajali-Nya. Cinta kepada tajalli-Nya dianggapnya sebagai cinta majazi yang secara vertikal menuju cinta sejatinya, yaitu Allah Swt. Para sufi percaya bahwa pada hakekatnya tidak ada suatu apapun kecuali eksistensi-Nya yang maha Esa. Semua makhluk adalah huruf-huruf yang terangkai indah dalam lembar wujud-Nya. Tintanya adalah cinta.

Ironis, insan-insan modern kini mencari cinta (baca : cinta ragawi). Demi itu, mereka memburu alat-alat kecantikan, menghamburkan uang demi memvermak hidung dan dagu atau dada, merawat kuku bahkan (maaf) merias kemaluan, mengukir tatoo, mendatangi butik-butik fashion, mengubah gaya bicara dengan ‘english selipan’ dan menata bahasa tubuh. Inilah imagologi cinta yang justru mengamputasi cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SAJAK SEONGGOK JAGUNG "W.S. Rendra"

Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda yang kurang sekolahan. Memandang jagung itu, sang pemuda melihat ladang; ia melihat petani; ia melihat panen; dan suatu hari subuh, para wanita dengan gendongan pergi ke pasar ……….. Dan ia juga melihat suatu pagi hari di dekat sumur gadis-gadis bercanda sambil menumbuk jagung menjadi maisena. Sedang di dalam dapur tungku-tungku menyala. Di dalam udara murni tercium kuwe jagung Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda. Ia siap menggarap jagung Ia melihat kemungkinan otak dan tangan siap bekerja Tetapi ini : Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda tamat SLA Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa. Hanya ada seonggok jagung di kamarnya. Ia memandang jagung itu dan ia melihat dirinya terlunta-lunta . Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik. Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase. Ia melihat saingannya naik sepeda motor. Ia melihat nomor-nomor lotre. Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal. Seonggok jagung di kamar t...

Busuknya kebencian

Seorang Ibu Guru taman kanak-kanak (TK) mengadakan"permainan". Ibu Gurumenyuruh tiap² muridnya membawa kantong plastiktransparan 1 buah dankentang. Masing² kentang tersebut diberi namaberdasarkan nama orang yangdibenci, sehingga jumlah kentangnya tidak ditentukanberapa ... tergantungjumlah orang² yang dibenci. Pada hari yang disepakati masing² murid membawakentang dalam kantongplastik. Ada yang berjumlah 2, ada yang 3 bahkan adayang 5. Sepertiperintah guru mereka tiap² kentang diberi nama sesuainama orang yangdibenci. Murid² harus membawa kantong plastik berisikentang tersebutkemana saja mereka pergi, bahkan ke toilet sekalipun,selama 1 minggu. Hari berganti hari, kentang² pun mulai membusuk,murid² mulai mengeluh,apalagi yang membawa 5 buah kentang, selain beratbaunya juga tidak sedap.Setelah 1 minggu murid² TK tersebut merasa lega karenapenderitaan merekaakan segera berakhir. Ibu Guru : "Bagaimana rasanya membawa kentang selama 1minggu ?" Kel...

Moral Remaja Makassar Bakal Terdegradasi

Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin mengakui imbas dari cita-cita Makassar sebagai kota dunia akan berefek dengan munculnya degradasi moral utamanya di kalangan remaja. Hal ini merupakan konsekuensi dari masuknya semua pengaruh asing ke dalam dinamika kehidupan warga kota Makassar bersamaan dengan aspek medernisasi lainnya. "Pada akhir abad 16 yang lalu, di saat Makassar tampil sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, modernisasi yang datang dikelola dengan tetap mempertahankan nilai moral. Keberhasilan ini disebabkan karena kuatnya peran agama sebagai filter kebudayaan asing," kata Ilham saat membuka Pekan Keterampilan dan Seni Pendidikan Agama Islam (Pentas PAI) 2011 Tingkat Kota Makassar di Kantor Kementerian Agama Kota Makassar, Selasa (31/5/2011). Terkait dengan hal tersebut, Ilham meminta institusi agama termasuk kementerian agama untuk turut melakukan intervensi terhadap ancaman degredasi moral yang saat ini mulai terlihat gejalanya. "Saat ini teknologi ...