Dulu, Dulu banget… saat saya baru duduk di bangku kelas 1 SMU, ada
sebuah audisi untuk sebuah majalah sekolah, tentunya di sekolah yang
baru saya duduki bangkunya tadi. Karena saya suka nekat dan ingin
mencari suatu kegiatan baru (selain main gitar dirumah selepas pulang
sekolah), saya putuskan untuk ambil bagian didalamnya. Layaknya remaja
pada umumnya, semangat saya sangat menggebu-gebu saat itu, langsung saja
tawaran itu saya jawab dengan jari telunjuk mengacung keatas, “Saya
mau!” dan saat itu saya orang pertama dikelas yang mengajukan diri.
Tak selang beberapa lama, Guru Bahasa Indonesia dengan senyum kecut nya, menunda pencatatan diri saya di daftar calon anggota majalah sekolah itu. Hal yang paling mendasar dan mungkin bisa diterima, adalah syaratnya yang sangat eksklusif, ‘Calon Peserta Adalah Siswa Rangking 1 dan 2, atau Memiliki Danem Tinggi’, sontak saya terkejut sembari menahan malu, karena kenyataanya, saya sama sekali tidak masuk kategori.
Tak selang beberapa lama, Guru Bahasa Indonesia dengan senyum kecut nya, menunda pencatatan diri saya di daftar calon anggota majalah sekolah itu. Hal yang paling mendasar dan mungkin bisa diterima, adalah syaratnya yang sangat eksklusif, ‘Calon Peserta Adalah Siswa Rangking 1 dan 2, atau Memiliki Danem Tinggi’, sontak saya terkejut sembari menahan malu, karena kenyataanya, saya sama sekali tidak masuk kategori.
Guru itu lantas mencari kandidat baru, dengan alasan, saya adalah
cadangan jika tidak ada lagi calon dikelas itu. Tindakan itu adalah
cambuk buat saya, sehina itukah saya?se elegan itukah majalah sekolah?
Karena tidak satupun mau, keputusan pun jatuh pada saya dan seorang lagi
siswi cantik dengan nilai tinggi. “Okky, apa kamu bisa?kamu goblok
gitu,” oloknya didepan 50 siswa. Dengan santai saya jawab, “Orang tua
saya tidak pernah meragukan saya saat saya belajar jalan, jadi kenapa
saya harus ragu?” jawab saya tegas.
‘Pertempuran’ pun dimulai, satu tahun pertama, saat itu masih anggota
junior, saya berhasil mengumpulkan artikel saya jauh sebelum tanggal
deadline, satu tahun kedua, saya berhasil dipilih mnenjadi ketua baru,
atau bahasa keren-nya, Pimpinan Redaksi. Sejumlah perubahan saya
lakukan, mulai penggunaan bahasa baku, rekrutmen yang tidak lagi
mementingkan nilai, pengakuan kemampuan personal, hingga look majalah
yang baru. Saya berhasil melampaui siswi cantik dengan nilai terbaik
itu.
Prestasi Jurnalis SMA Terbaik, berhasil saya raih, dan kepercayaan
teman-teman, guru, kepala sekolah, hingga guru pematah semangat
tersebut, beralih pada saya, siswa bodoh dan bahan olokan.
Lepas dari pendidikan Putih Abu-abu tersebut, selang beberapa tahun
tentunya, saya putuskan untuk meneruskan hobi saya sebagai Jurnalis
dengan melamar sebagai wartawan di media lokal. Dengan semangat olokan
dulu, saya berhasil menjadi Koordinator Liputan, Redaktur, hingga Humas
dalam 2 tahun masa kerja saya.
Bukan Prestasinya yang menjadi inti tulisan ini, tapi saya berhasil
menaklukan momok ejekan yang selalu menjadi ganjalan selama ini. Guru
pematah semangat itu sekarang berbalik malu saat melihat saya di reuni
sekolah. Tapi tanpa saya sadari, Guru itu sudah berubah menjadi Guru
Pembakar Semangat saya. Saya peluk dia, dan saya katakan, “Terima kasih
atas ejekan ibu dulu.”
Hari ini saya megajak anda untuk melakukan apa yang ingin anda
lakukan. Sekecil apapun itu, serendah apapun diri anda, jika kemauan itu
dapat merubah hidup anda menjadi lebih baik, Lakukanlah!
Jadikan ejekan, hinaan, dan hambatan sebagai batu lompatan. Niat anda
lebih berharga dari sebuah angka akademis, prestasi nilai, taraf hidup,
kekurangan fisik, minoritas suku, dan apapun yang membuat anda berbeda
dengan lingkungan anda.
Hidup kita mahal, karena pembuatnya adalah maestro terhebat, Ilmuan
dari segala ilmuan, dan tidak ada yang boleh merendahkan anda didunia
ini, karena Tuhan menciptakan anda dengan Sempurna.
Salam Damai,
Komentar
Posting Komentar