Langsung ke konten utama

Sekolah : Mesin Reproduksi Kelas Sosial


           
Oleh : Marhain Sastroguna*
Pendidikan adalah proses pembebasan
dan pendidikan adalah proses membangkitkan
kesadaran kritis.
                                                           (Paulo Freire 1921 - 1997)
Telah menjadi keyakinan mayoritas masyarakat (Common Sense) bahwa setiap individu yang ingin meraih kesuksesan dan terlepas bebas dari belenggu kemiskinan, maka keharusan baginya untuk menempuh jalan pada sebuah dunia yang bernama pendidikan. Keyakinan akan dunia pendidikan itu direduksi sedemikian rupa oleh struktur dan sistem sosial sehingga menyisakan peyempitan makna terhadapnya, yakni menempuh jalan pendidikan berarti bersekolah. Sekolah dipahami tidak hanya sebagai tempat mengenyam pendidikan, menuntut ilmu, dan memancangkan jenjang anak tangga setinggi cita-cita itu digantungkan –seperti yang ‘disuntikkan’ para guru ke dalam tempurung kepala muridnya– sedari awal bersekolah, melainkan ia lebih dari itu, ia adalah refleksi atas relasi sosial yang hidup dalam masyarakat. Relasi sosial adalah hubungan interaksi dalam masyarakat, hubungan interaksi ini tidak lain sebagai medium sekaligus modus pemenuhan kebutuhan hidup (Mode of Production) yang dalam konteks kejayaan kapitalisme saat ini ditandai dengan : adanya  di satu sisi orang yang menjual tenaga kerjanya demi pemenuhan kebutuhan hidup, sementara di sisi lain terdapat orang yang hanya dengan modalnya (capital-money) tanpa pengerahan otot dan pencucuran keringat (work) ia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup melainkan ia juga mampu mengakumulasinya. Sisi pertama disebut dengan kelas pekerja sedangkan yang kedua disebut kelas kapitalis. Penjelasan inilah yang oleh Karl Marx (1818 - 1883) dicetuskan sebagai teori dan analisa kelas sosial (Mansour Fakih, 2011:2).
Lalu, apa hubungan antara pendidikan dengan kelas sosial ?. Senada dengan penjelasan di atas, bahwa relasi sosial dalam dunia pendidikan adalah cerminan nyata atas relasi sosial dalam masyarakat, hal ini dipengaruhi oleh dominasi relasi sosial kapitalistik dalam masyrakat dunia (Global Capitalism) yang telah berhasil merenggut seluruh aspek kehidupan, pendidikan pun tak luput dari itu. Konsekuensinya, ideologi kompetisi dan budaya positivisme (Culture Positivism) tumbuh dan berkembang dalam dunia pendidikan. Ideologi kompetisi yang dimaksud di sini ialah lahirnya paradigma dan sikap individualistik dalam diri peserta didik yang mempersyaratkan persaingan, persaingan ini menghasilkan dua pilihan yang mau tak mau ataupun suka tak suka peserta didik harus memilih; menang atau kalah. Seolah telah menjadi takdir Tuhan bahwa yang menang adalah peserta didik yang sejak awal masuknya memiliki kekuatan ekonomi dan kelas sosial yang tinggi sedangkan yang kalah adalah ia yang sejak awal masuknya lemah dan tertindas. Potret ketidakadilan pun menampak dalam kompetisi ini, logikanya; mampukah peserta didik miskin bersaing dan mengalahkan peserta didik yang kaya ? tentunya tidak ! sebab persoalan gizi dan nutrisi yang menunjang kesehatan berpikir, pembayaran sekolah yang tidak murah, serta fasilitas dan teknologi canggih pengakses ilmu pengetahuan telah lebih dulu dimiliki oleh si kaya. Akhirnya, si miskin yang setelah bersekolah tetap menjadi miskin dan si kaya yang setelah bersekolah juga tetap pada posisi awalnya. Bahkan bisa jadi yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan budaya positivisme sebagai dampak kapitalisme global ialah lahirnya cara pandang peserta didik yang memahami realitas sosial separti ia memahami determinisme alam semesta melalui prinsip-prinsip ilmu positivistik. Akibatnya, fakultas akal peserta didik kehilangan sikap kritis dan tidak mampu memandang dalam konteks sosio-historis perkembangan realitas sosial. Selain itu, ia telah menjadikan ilmu yang didiseminasikan kepada peserta didik sebagai  ilmu yang mengorientasikan mereka untuk beradaptasi pada dunia masyarakat industri (Market Oriented) , tentunya dengan mengorbankan aspek critical subjectivity, yaitu kemampuan untuk melihat dunia secara kritis” (M. Agus Nuryatno, 2011:57). Pengorientasian pada masyarakat industri berakibat pada paradigma peserta didik yang beranggapan bahwa “sekolah untuk kerja” sedangkan pengorbanan potensi  kesadaran kritis peserta didik akan berujung pada sikap fatalistik dalam menghadapi kehidupan seraya bungkam dalam ketertindasan, realitas sosial yang terdiri dari kelas, relasi, struktur, dan sistem sosial senantiasa diterima apa adanya dan menganggapnya senantiasa dalam keadaan baik-baik saja. Tanpa pemiskinan, tanpa penistaan, dan tanpa penindasan manusia atas manusia.
Adapun pandangan Peter Mclaren yang mengemukakan tiga dampak kapitalisme global terhadap dunia pendidikan : pertama, terciptanya praktek-praktek pendidikan yang lebih mendukung kontrol ekonomi oleh kelas-kelas elit. Kedua, orientasi ilmu pengetahuan yang diberikan hanyalah untuk mengejar keuntungan material belaka (profit oriented). Dan ketiga, kapitalisme telah berhasil menciptakan fondasi ilmu pengetahuan yang berlandas pada nilai-nilai korporasi seraya menafikan nilai-nilai keadilan soial-ekonomi dan humanitas. Singkatnya, semua dampak yang tersebut di atas hanya akan mereproduksi secara massif kelas sosial yang sama dan melanggengkan status quo kelas dominan; yang kuat semakin menindas yang lemah, yang kaya semakin memarjinalkan yang miskin, dan yang bermodal juga semakin eksploitatif terhadap pekerjanya. Dan seterusnya berulang, dan seterusnya. Akhirnya, pendidikan yang sebenarnya sebagai proses pembebasan atas pemiskinan, penistaan, dan penindasan telah dilumpuhkan oleh kekuatan kapitalisme global, mitos pendidikan yang diyakini oleh mayoritas masyarakat pun mulai terbongkar, dan sekolah tidak lebih dari seonggok mesin yang terus menerus memproduksi komoditi yang sama; kelas sosial, dengan segenap ketidakadilan dan  dehumanisasi di dalamnya.
 

*Penulis adalah pribumi Indonesia yang selalu bermimpi tentang negaranya, memimpikan Indonesia yang memperlakukan seluruh warga negaranya sebagai manusia seutuhnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SAJAK SEONGGOK JAGUNG "W.S. Rendra"

Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda yang kurang sekolahan. Memandang jagung itu, sang pemuda melihat ladang; ia melihat petani; ia melihat panen; dan suatu hari subuh, para wanita dengan gendongan pergi ke pasar ……….. Dan ia juga melihat suatu pagi hari di dekat sumur gadis-gadis bercanda sambil menumbuk jagung menjadi maisena. Sedang di dalam dapur tungku-tungku menyala. Di dalam udara murni tercium kuwe jagung Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda. Ia siap menggarap jagung Ia melihat kemungkinan otak dan tangan siap bekerja Tetapi ini : Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda tamat SLA Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa. Hanya ada seonggok jagung di kamarnya. Ia memandang jagung itu dan ia melihat dirinya terlunta-lunta . Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik. Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase. Ia melihat saingannya naik sepeda motor. Ia melihat nomor-nomor lotre. Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal. Seonggok jagung di kamar t...

Busuknya kebencian

Seorang Ibu Guru taman kanak-kanak (TK) mengadakan"permainan". Ibu Gurumenyuruh tiap² muridnya membawa kantong plastiktransparan 1 buah dankentang. Masing² kentang tersebut diberi namaberdasarkan nama orang yangdibenci, sehingga jumlah kentangnya tidak ditentukanberapa ... tergantungjumlah orang² yang dibenci. Pada hari yang disepakati masing² murid membawakentang dalam kantongplastik. Ada yang berjumlah 2, ada yang 3 bahkan adayang 5. Sepertiperintah guru mereka tiap² kentang diberi nama sesuainama orang yangdibenci. Murid² harus membawa kantong plastik berisikentang tersebutkemana saja mereka pergi, bahkan ke toilet sekalipun,selama 1 minggu. Hari berganti hari, kentang² pun mulai membusuk,murid² mulai mengeluh,apalagi yang membawa 5 buah kentang, selain beratbaunya juga tidak sedap.Setelah 1 minggu murid² TK tersebut merasa lega karenapenderitaan merekaakan segera berakhir. Ibu Guru : "Bagaimana rasanya membawa kentang selama 1minggu ?" Kel...

Moral Remaja Makassar Bakal Terdegradasi

Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin mengakui imbas dari cita-cita Makassar sebagai kota dunia akan berefek dengan munculnya degradasi moral utamanya di kalangan remaja. Hal ini merupakan konsekuensi dari masuknya semua pengaruh asing ke dalam dinamika kehidupan warga kota Makassar bersamaan dengan aspek medernisasi lainnya. "Pada akhir abad 16 yang lalu, di saat Makassar tampil sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, modernisasi yang datang dikelola dengan tetap mempertahankan nilai moral. Keberhasilan ini disebabkan karena kuatnya peran agama sebagai filter kebudayaan asing," kata Ilham saat membuka Pekan Keterampilan dan Seni Pendidikan Agama Islam (Pentas PAI) 2011 Tingkat Kota Makassar di Kantor Kementerian Agama Kota Makassar, Selasa (31/5/2011). Terkait dengan hal tersebut, Ilham meminta institusi agama termasuk kementerian agama untuk turut melakukan intervensi terhadap ancaman degredasi moral yang saat ini mulai terlihat gejalanya. "Saat ini teknologi ...